Tugas 2_AHDE " Permasalahan Perlindungan Konsumen "
Hukum Pemakai Formalin
Jakarta, Kompas - Penjual usus ayam berformalin harus
mendapatkan sanksi hukum yang tegas agar penjualan makanan berbahaya kepada
konsumen tidak terulang. Keputusan tersebut menunjukkan ketegasan dan
kesungguhan pemerintah melindungi kesehatan konsumen.
Temuan atas usus ayam berformalin menyeruak sepanjang
pekan lalu. Hari Kamis, polisi mendapati usus ayam berformalin seberat 650
kilogram di sebuah rumah potong ayam di Jakarta Barat. Usus itu dipasarkan oleh
pelaku di Pasar Tambora. Seorang pemilik berinisial LTF ditetapkan sebagai
tersangka.
Hari Sabtu, pemerintah merazia sejumlah pasar dan mendapati
usus berformalin dengan berat total 24,5 kilogram. Usus yang mengandung bahan
berbahaya itu ditemukan di Pasar Serdang, Kemayoran, serta di kelompok Arella,
Jalan Penghulu Kelurahan Cipulir, Kebayoran Lama.
Selain itu, petugas juga menyita 5 liter formalin di Pasar
Cipete. Formalin itu diduga digunakan untuk mengawetkan makanan. Berbeda dengan
penanganan temuan usus berformalin di Jakarta Barat, pemerintah hanya
memberikan peringatan kepada para penjual dan menyita usus berformalin itu.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
Sudaryatmo, Senin (29/11), mengatakan, penggunaan formalin untuk mengawetkan
makanan mentah sudah sering terjadi, termasuk pada kasus usus yang diawetkan
dengan formalin.
”Razia makanan segar perlu sering dilakukan untuk
mencegah peredaran makanan berformalin,” kata Sudaryatmo.
Pemerintah perlu menggandeng kepolisian sehingga
pelaku yang tertangkap bisa langsung diproses secara hukum. ”Butuh penegakan
hukum yang tegas untuk menindak penjual atau produsen yang menjual bahan
makanan dengan formalin,” ujar Sudaryatmo.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, konsumen mempunyai sejumlah hak, antara lain berhak
mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi makanan.
Sebelumnya, Kepala Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta
Ipih Ruyani mengatakan, penjual usus ayam yang berformalin diberi sanksi berupa
peringatan. Apabila pelaku mengulangi perbuatan mereka hingga tiga kali,
pemerintah baru mengambil langkah hukum.
Di sisi lain, Sudaryatmo berpendapat, pemerintah juga
perlu menyediakan saluran pengaduan apabila masyarakat menemukan atau curiga
dengan adanya makanan berpengawet formalin.
”Selama ini, masyarakat bingung harus mengadu ke mana jika
mereka menemukan atau ragu dengan makanan yang dijual di pasar. Kalau ada
saluran pengaduan, mereka bisa segera menyampaikan masalah ini kepada
pemerintah dan pemerintah menindaklanjuti dengan merazia tempat yang dimaksud,”
kata Sudaryatmo.
Pentingnya menindak tegas pengguna formalin untuk
pengawetan bahan makanan juga datang dari Guru Besar Ilmu Kedokteran Komunitas
dan Keluarga Universitas Indonesia Firman Lubis.
”Pelaku perlu diberi sanksi tegas karena penggunaan
formalin sangat membahayakan kesehatan manusia. Kalau tidak diberi sanksi
keras, kejadian seperti ini akan terulang,” ujarnya.
Firman mengatakan, selain pada kasus usus, penggunaan
formalin untuk bahan pengawet makanan juga beberapa kali ditemukan dalam
makanan mentah, seperti ikan, daging ayam, daging sapi, bahkan juga tahu dan
tempe.
Tidak hilang
Formalin yang digunakan untuk pengawet bahan makanan ini
tidak hilang kendati makanan sudah dicuci. ”Makanan yang sudah kena formalin
tidak bisa dibersihkan meski sudah dimasak sekalipun,” kata Firman.
Efek formalin yang terkonsumsi manusia tidak langsung
terasa. Zat berbahaya itu mengendap dan terakumulasi.
Penyakit akibat formalin bisa saja terdeteksi
bertahun-tahun setelah orang mengonsumsi makanan. Sejumlah penyakit bisa timbul
akibat formalin dalam tubuh, antara lain kanker.
Di sisi lain, calon konsumen juga perlu mengenali makanan
berformalin, antara lain makanan itu bertekstur lebih kenyal serta tidak
dihinggapi lalat kendati makanan itu berbau amis.
Apabila dibiarkan dalam suhu ruangan, makanan itu juga
tidak membusuk bahkan hingga tiga hari kemudian. Kemampuan pengawetan formalin
ini, menurut Firman, yang juga menjadi pilihan bagi penjual bermodal pas-pasan
untuk mengawetkan makanan segar.
”Apalagi, sebagian pedagang tidak punya mesin pembeku
makanan yang bisa menampung bahan makanan yang tidak laku terjual pada hari
itu,” katanya.
Masalah pengawetan ini, menurut Firman, juga perlu
disosialisasikan kepada penjual agar mereka tidak lagi memakai bahan berbahaya.
(ART)
( Sumber
: https://megapolitan.kompas.com/read/2010/11/30/03192589/hukum.pemakai.formalin
)
Penyelesaian :
Berdasarkan data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
setiap tahunnya permasalahan konsumen terus meningkat. Salah satunya
adalah kasus-kasus makanan tidak layak konsumsi, seperti makanan
berformalin. Dengan menilik berbagai kasus yang telah atau sedang terjadi di
Indonesia, bisa dikatakan bahwa perlindungan konsumen di negara ini masih
sangat rendah. Hal ini cukup kontradiktif mengingat Indonesia telah
memiliki kebijakan tentang perlindungan konsumen, yakni Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK).
Dalam kasus ini dilakukan penyelesaian dengan
cara Pemerintah menggandeng kepolisian untuk menindak penjual atau
produsen yang menjual bahan makanan dengan formalin.
Akan ada peringatan pertama kepada penjual jika mereka mengulangi
perbuatan hingga tiga kali, Pemerintah akan mengambil langkah hukum. Jika tidak
diberi sanksi yang tegak para oknum akan terus mengulangi perbuatannya dan akan
merugikan konsumen dan perbuatannya akan berdampak serius (terutama pada
kesehatan) dan meluas. Akibatnya kerugian yang diderita konsumen dapat bersifat
masssal.
Dengan banyaknya permasalahan akan perlindungan konsumen
kita dapat berspekulasi
Apakah konsumen di Indonesia sudah benar-benar “terlindungi”
atau belum.
Padahal Secara garis besar, UU PK telah membatasi peran
antar pelaku usaha dan konsumen, serta mengatur mengenai hak-hak yang dimiliki
oleh konsumen. Ada beberapa poin penting dalam UUPK, yang perlu diketahui oleh
masyarakat umum, baik konsumen maupun pelaku usaha.
Pertama, mengenai hak dan kewajiban yang dimiliki oleh para
pelaku usaha dan konsumen. Kedua, mengenai sanksi pidana bagi pelaku usaha yang
melanggar hak-hak konsumen. UU PK mengatur mengenai sanksi hukum pidana,
seperti yang terdapat pada Pasal 62 ayat 1 dan ayat 2.
Ketiga, kasus persengketaan konsumen dan pelaku usaha yang
bisa dibawa ke ranah pengadilan, dengan perantara lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (Pasal 45).
( sumber : https://www.msn.com/id-id/ekonomi/ekonomi/ylki-perlindungan-konsumen-masih-sangat-lemah-selama-2017/ar-BBHqAmy
)
Komentar
Posting Komentar